Biografi
Ketua Umum Partai NasDem (4)
Surya
Dharma Paloh adalah sebuah pribadi yang unik dan kontroversial. Karenanya ada
alasan untuk tidak suka kepadanya. Namun banyak pula alasan untuk sangat suka
sekaligus mengagumi kepiawaiannya sebagai pengusaha, politisi dan publisher. Namun,
sejatinya dia sosok yang selalu membawa kebenaran suara masa depan.
Dalam
percakapan dengan TokohIndonesiaDotCom, dia menyatakan kesiapan menjadi salah
satu figur alternatif pemimpin bangsa dengan sejumlah tawaran agenda yang
menarik. "Bangsa ini butuh perubahan besar," tegasnya.
Kehidupan
pribadinya selalu mendapat perhatian banyak orang. Misalnya kegemarannya mandi
sauna, rajin mengunjungi salon langganan di Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta
untuk memelihara brewok tebalnya agar senantiasa berkilau tanpa menampakkan
siratan uban ketuaan. Hotel ini adalah tempat tinggal dia tiga bulan pertama
merantau ke Jakarta di tahun 1977.
Demikian
pula kesukaan dia berlibur ke Pulau Kaliage, di gugusan Pulau Seribu, tempat
dia sering menjamu tamu relasi bisnis maupun para sahabat. Jika ke Kaliage dia
sering menggunakan kapal yacht Obsession, dulu Admiral yang dilengkapi koki
berwarganegara Australia, kini, setelah mempunyai "mainan baru" Bali
Intercontinental Hotel di Jimbaran, Bali dia menambah koleksi dengan pesawat
jet pribadi BAE 146 produksi British Aerospace, dari Inggris.
Chairman
Media Grup dan Pendiri Nasional Demokrat Surya Paloh, menjelang melewati usai
50 tahun sesungguhnya sudah ingin pensiun dari segala hal. Namun setelah
dipikir, dia tak ingin "tenggelam" dalam kemewahan masa pensiun
tertegun dan berdiam diri. Semangatnya masih menggelora untuk terus berbakti
kepada bangsa mewujudkan suara kebenaran yang sebelumnya sudah dia perjuangkan
tiada henti. Ketika apa yang dia perjuangkan itu memperoleh momentumnya di era
reformasi, Surya Paloh langsung kembali ke hakekat jati diri dia yang
sesungguhnya, yaitu menjadi surya bangsa yang menyinari segenap bumi persada.
Partai
Golkar yang pada masanya pernah memberinya kematian perdata dia bangunkan
dengan sebuah gagasan fenomenal: Gelar Konvensi Calon Presiden Partai Golkar,
Menuju Pemilu Presiden 2004. Untuk lebih menunjukkan sikap bertanggungjawab
atas gagasannya itu, Surya lantas ikut pula menjadi salah satu peserta
konvensi. Dia mengusung sebuah konsep baru tentang kepemimpinan nasional serta
menyiapkan sejumlah agenda penyelamatan bangsa dari krisis multi dimensional.
Dia
tidak ragu-ragu mencerahkan pemikirannya itu dalam kesempatan pembicaraan
TokohIndonesiaDotCom, di kantornya yang asri, Kompleks Delta Kedoya, Kebon
Jeruk, Jakarta Barat.
Dia
mengawali pencerahan itu dengan menyerahkan sebuah buku berjudul "Editorial
Kehidupan Surya Paloh", yang khusus ditandatanganinya, kepada Pemimpin
Redaksi TokohIndonesiaDotCom, Robin Ch. Simanullang. Buku itu adalah biografi
kehidupan dia sebagai anak bangsa selama 50 tahun perjalanan hidup antara 16 Juli
1951 hingga 16 Juli 2001.
"Saya
berikan ini kepada sahabat saya, Robin Manullang, anak perantauan, yang dengan
saya sama-sama anak perantauan," katanya sangat bersahabat.
Karena
pembicaraan tergolong berbobot dan sangat serius bahkan sangat penting untuk
tidak dilewatkan mencerahkan bangsa, maka, selain penulis buku biografinya,
Usamah Hisyam, ikut pula mendampinginya Elman Saragih, Ketua Tim Sukses
Kepresidenan Surya Paloh yang juga Redaktur Eksekutif Media Indonesia.
Surya
Paloh adalah salah satu kandidat calon presiden yang banyak memperoleh
apresiasi masyarakat luas. Beberapa polling di media cetak dan elektronik
menempatkannya pada posisi sebagai kandidat presiden patut diperhitungkan.
Dalam Konvensi Calon Presiden Partai Golkar dia didukung oleh 27 propinsi. Surya
maju dengan atribut sebagai profesional media massa, pengusaha sukses, dan
politikus yang sudah cukup populer di masyarakat bahkan tergolong cukup
berpengaruh di Republik ini. Segala atribut tersebut masih dilatari beragam hal
yang semakin membulatkan tekadnya maju sebagai calon presiden.
Seperti,
besarnya kebutuhan bangsa ini untuk segera berubah. Dan dia sangat yakin bahwa
perubahan besar itu bisa dia berikan kepada bangsanya. Modalnya adalah karunia
Tuhan. Yaitu, apa yang telah Tuhan Yang Maha Kuasa berikan kepadanya termasuk
kesempatan lahir, besar dan berinteraksi di tengah-tengah bangsa sehingga
jadilah dia sebagai anak bangsa bernama Surya Paloh. Dia, yang berusia 52 tahun
(saat diwawancarai), masih enerjik dan ingin berjuang seribu tahun lagi.
Obsesinya
semenjak berkarir memulai usaha pada usia 14 tahun, muncul menggoda semakin
hari justru semakin keras. Haruskah dia berhenti melakukan sesuatu yang lebih
optimal? Atau, haruskah dia menyerah untuk menyatakan selamat tinggal kepada
perjuangan yang bukan terbatas kepada diri sendiri dan keluarga?
Pertanyaan
yang selalu menggoda dan muncul setiap saat itu menghantarkannya pada sebuah
kesimpulan bahwa dia tidak boleh menyerah. "Siapapun diantara kita tahu,
bahwa ada sebuah fenomena baru diperkenalkan pada bangsa ini: Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden secara langsung."
Surya
Paloh melanjutkan, fenomena baru tersebut pada dasarnya memberikan kesempatan
sama kepada setiap anak bangsa. Yaitu kesempatan untuk menampilkan diri sebagai
sebuah pilihan alternatif kepada bangsa sendiri.
Fenomena
baru tersebut adalah juga sebuah proses pembelajaran politik yang cukup lama
tidak diberlakukan kepada negeri ini. Sehingga, keinginan siapapun setiap warga
negara untuk menampilkan atau menampakkan ambisi untuk menjadi sosok seorang
pemimpin, apalagi menjadi presiden, kini terbuka. Hal yang dianggap berlebihan
bahkan tabu pada masa lalu.
Cara
berfikir yang menabukan lahirnya keinginan menjadi pemimpin nasional adalah
kesalahan. "Mari, kita dengan tenang mempertanyakan cara berfikir seperti
ini. Apakah cara berfikir seperti itu sudah benar di alur yang benar, atau
salah? Saya katakan, salah."
Harusnya,
katanya, semakin banyak anak-anak negeri ini yang punya ambisi, obsesi besar,
bahkan dari sejak masa belia sudah harus datang dengan keinginan untuk
mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa. Kita harus mendorong, kita harus
bersyukur.
"Bahkan,
ketika kita sudah memasuki abad ke-21 bangsa lain telah mencoba melakukan
experience baru mendaratkan warga negara bangsanya bukan lagi di bulan, tapi di
Mars, kita masih berpikir antara kesempatan orang di Jawa dengan orang di luar
pulau Jawa untuk jadi pemimpin di negeri ini. Di mana perbandingannya? Apa yang
harus kita perbandingkan lagi? Banggakah kita dengan pola berpikir seperti ini,
atau sebaliknya, kita harus malu hati?"
Sekarang,
lanjut Surya Paloh, ada pertanyaan mendasar yang harus kita jawab segera.
"Kita memasuki sebuah era baru yang kita sebutkan era reformasi, setelah
sistem yang berjalan serba etatis kurang lebih 32 tahun. Kita tentu
mengharapkan perubahan-perubahan besar terjadi di negeri ini. Kita akan
memperlihatkan bahwa ada suatu hal yang pasti bisa diterima di negeri ini.
Yaitu perubahan-perubahan mendasar yang bisa memberikan rasa kebanggaan diri
secara pribadi, maupun secara kelompok secara keseluruhan kita sebagai anak
bangsa."
Menurutnya,
fakta juga menyatakan kita telah kehilangan kebanggaan itu. "Apa yang bisa
kita banggakan, dimana national interest kita, dimana national pride kita saat
ini?"
Lalu,
ia menguraikan aspek bidang ekonomi kita tidak bisa membanggakan keunggulan
apapun. Dalam pergulatan apapun, apakah itu ekspor-impor kita, atau kehidupan
sosial. Kita tidak bisa lagi membanggakan semakin banyaknya orang bermurah hati
satu sama lain dalam memberikan kontribusi sosialnya. Keamanan, kita tidak
merasa nyaman. Politik, kita bisa merasakan suasana stabilitas politik atau
instabilitas politik.
Jadi,
ujarnya, ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan sama. "Ini harus
dilakukan dengan upaya-upaya besar dengan apa yang saya istilahkan melakukan
suatu restorasi nasional."
Sementara,
lanjutnya, upaya-upaya besar ini tidak mungkin bisa kita lakukan kalau kita
tidak memiliki otoritas. "Peran partisipan bisa kita lakukan, tapi rasanya
itu tidak bisa memberikan perubahan-perubahan yang berarti."
Dia
mengungkapkan kegelisahan hatinya sebagai seorang publisher dengan berbagai
latar belakang eksperimen dan pengalamannya sekian puluh tahun. Apa pun yang
dia sumbangkan dalam kemampuan asah intelektual, intelectualitas exercise-nya
melalui institusi yang dia pimpin, ternyata tidak banyak nampak perubahan sikap
penguasa dan masyarakat.
"Tetapi
itu bukan berarti saya harus jemu dan berhenti. Setiap hari editorial demi
editorial dan berbagai macam ulasan dan kupasan diberikan oleh institusi yang
saya pimpin, tapi toh itu tidak bisa memberikan suatu perubahan-perubahan yang
berarti dan besar bagi bangsa ini," katanya.
Lalu,
sekarang, dia ingin memberikan alternatif, sebagai salah satu tambahan
alternatif, sebagai kandidat pemimpin bangsa ini. "Saya telah berbicara
pada diri saya sendiri. Apabila ini datang dengan landasan semangat ideal, yang
bersih, tulus, ikhlas, konsisten, dan penuh dengan komitmen, saya pikir saya
tidak salah dengan ini."
Dia
jelaskan bangsa ini pernah kehilangan alternatif untuk mencari pemimpin.
Akibatnya, "Kita sudah tertinggal dari bangsa-bangsa lain di sekitar kita.
Dan untuk mengejar itu diperlukan perubahan besar dimana seorang yang tangguh,
visioner ke depan, punya kejujuran, keteguhan hati dan kemampuan berkomunikasi,
segera harus hadir di negeri ini. Seorang Surya, salah satu alternatif."
Nilai-nilai
Kebangsaan
Surya
Paloh melihat sesungguhnya persoalan besar bangsa Indonesia hari ini adalah
lunturnya nilai-nilai kebangsaan (national values). Pada satu sisi pemulihan
ekonomi menghadapi berbagai kendala, pada sisi lain ancaman disintegrasi
nasional terus berlangsung. Bahkan, dari hari ke hari kondisi sosial masyarakat
semakin mengenaskan.
Angka
kemiskinan secara absolut terus bertambah, pemutusan hubungan kerja meningkat.
Sementara lapangan kerja semakin terbatas sehingga jumlah pengangguran kian
meluas di tengah melonjaknya angkatan kerja baru. Kondisi ini semakin
menjauhkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945,
yakni membangun masyarakat yang adil makmur dan sejahtera.
Surya
Paloh yakin pula bahwa masalah tersebut dapat teratasi hanya bilamana seluruh
komponen bangsa memiliki komitmen bersama untuk melaksanakan restorasi
nasional. Melalui restorasi terjadi perubahan-perubahan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara signifikan ke arah yang lebih
maju. Hanya saja, seluruh perubahan tersebut bisa tercapai bila ditempuh
melalui sebuah langkah terobosan yang non-konvesional.
Surya
Paloh mencatat minimal dibutuhkan 12 program restorasi nasional
non-konvensional yang perlu diwujudkan pasca Pemilu 2004, terutama di bidang
politik, ekonomi dan kesra oleh seorang Presiden terpilih.
Bidang
politik adalah prioritas utama. Di sini, restorasi yang pertama adalah program
memantapkan stabilitas politik melalui rekonsiliasi dan pardon nasional, dengan
menempatkan persoalan masa lalu sebagai bagian dari fakta sejarah yang dapat
dipetik hikmahnya. Seluruh komitmen harus dibangun dengan membuka buku baru dan
menutup buku lama.
Dalam
konteks itu perlu ditempuh langkah-langkah terpadu dan komprehensif untuk
menjaga stabilitas hankam guna memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dengan membangun TNI yang modern dan profesional.
Program
lainnya adalah menciptakan keamanan, ketertiban masyarakat, menghentikan
konflik-konflik sosial, etnik, dan agama, serta peningkatan peran aparat
KeKapolri (1968-1971) Kepolisian untuk melindungi dan mengayomi masyarakat.
Kedua,
meningkatkan partisipasi publik agar mendukung penuh program pembangunan.
Setiap kebijakan publik harus dikomunikasikan terlebih dahulu dengan bebagai
komponen masyarakat dengan membangun hubungan komunikasi yang bottom up. Dengan
partisipasi publik maka setiap program pembangunan akan memperoleh dukungan
penuh masyarakat.
Ketiga, memperkuat kembali kekuatan pemersatu bangsa yakni semangat kebhineka tunggal ika-an yang kini mulai rapuh.
Ketiga, memperkuat kembali kekuatan pemersatu bangsa yakni semangat kebhineka tunggal ika-an yang kini mulai rapuh.
Keempat,
menegakkan supremasi hukum dalam rangka menciptakan clean and good governance,
masyarakat yang tertib hukum, serta berorientasi kepada "hukum sebagai
panglima". Langkah terobosan yang perlu dilakukan adalah, menumbuhkan
semangat dan kinerja aparatur pengawal hukum agar memiliki kebanggaan terhadap
profesi. Misalnya dengan memberikan apresiasi terhadap tugas dan tanggung jawab
mereka, antara lain melalui peningkatan gaji dan kesejahteraan pegawi negeri,
guru, jaksa, hakim, polisi, dan prajurit TNI agar terhindar praktik KKN.
Kelima,
melanjutkan otonomi daerah (desentralisasi pemerintahan) dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan meningkatkan percepatan pembangunan di
daerah dalam segala bidang agar dapat mengejar ketertinggalannya.
Sementara
di bidang ekonomi, Surya juga mencatat terdapat lima prioritas program
restorasi sebagai langkah pemulihan.
Program
yang harus segera dilaksanakan itu adalah, pertama, menjaga stabilitas ekonomi
makro. Kedua, melaksanakan restrukturisasi manajemen hutang luar negeri.
Ketiga, mencanangkan reformasi pajak yang mengarah pada prinsip keadilan.
Keempat, mendorong tumbuhnya investasi dengan memberikan insentif serta
kemudahan-kemudahan perizinan. Kelima, membuka lapangan pekerjaan
seluas-luasnya dalam rangka mengurangi angka pengangguran.
Di
bidang kesejahteran rakyat, Surya mencatat ada dua program yang harus direstorasi.
Pertama,
menekan tingkat kemiskinan serendah mungkin dengan mengupayakan terciptanya
lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Kedua, mengembangkan dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dengan memberikan dan membuka prasarana pendidikan
yang mudah, murah, dan seluas-luasnya.
Cara
Berpikir Surya Paloh sepertinya sudah sangat paham akan segala persoalan bangsa
ini. Maka dia mengedepankan restorasi nasional sebagai program atau platform
cara berpikir pemimpin bangsa. Dia menginginkan adanya perubahan-perubahan yang
berarti dan berskala besar.
Apa
itu? "Mengubah way of thinking dan way of life yang ada pada diri kita.
Bukan hanya perubahan dalam bentuk infrastruktur yang ada. Cara berfikir kita
saat ini, sudah tepat atau tidak sebagai sebuah bangsa besar? Kita harus jujur
dan objektif. Sudah tepatkah cara berfikir kita, cara kita melaksanakan
pemahaman kehidupan kita sehari-hari dengan interaksi sosial kita?"
Dia
menggugah, pantaskah kita sebutkan kita sebagai bangsa yang mengagungkan
nilai-nilai religi Ketuhanan Yang Maha Esa? "Saya pikir, itu tidak semudah
kita mengutarakan ya atau tidak. Tapi ada masalah besar sekarang di antara
kita. Ada sebuah kontroversi dan kontradiksi yang terus menerus terjadi di
semua aspek kehidupan kita. Kita ingin maju tapi kita melangkah ke belakang.
Kita ini bicara kita anti KKN tapi praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
terjadi di sekitar kita setiap saat, setiap menit, dimana saja, kapan saja
,oleh siapa saja."
Menurutnya,
kita tidak memerlukan sejumlah teori dengan berlatar belakang mashab apapun
yang disarankan sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah bangsa ini.
"Kita memerlukan pemimpin yang tepat! Kita menaruh harapan baru pada
mereka, yang kita anggap tepat. Saya salah satu diantara itu," ujarnya
mantap.
Surya
Paloh sudah lama menjadi pemimpin media massa dengan membawa berbagai suara
perubahan. Suara itu dia kemukakan melalui editorial maupun pemberitaan secara
tak jemu-jemu. Sayang suara itu masih kurang didengar sehingga mendorongnya
mencari otoritas yang lebih tinggi untuk lebih bersuara lagi, yaitu harus
tampil ke depan berebut tampuk kepemimpinan nasional.
Sangat
cukup jelas alasannya untuk tetap bersuara lantang. Bersuara keras menembus
tembok arogansi kekuasaan adalah kebiasaannya semenjak masa mudanya. Surya
berkesimpulan bahwa kebanggaan nasional atau national pride kita sekarang ini
sudah tidak ada lagi yang bisa dibandingkan, alias nothing to compare.
"Kalau
implisit dalam deskripsinya Anda bisa sebutkan misalnya pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan ekonomi kita rendah. Bicara pertumbuhan ekonomi berapa persen,
masih di bawah empat persen, saat pertumbuhan negara-negara lain sudah lebih
maju. Cina sekarang berada di atas sembilan persen. GDP kita rendah. Pendapatan
perkapita kita, apalagi. Kita bangsa besar dengan pendapatan 1.000 dolar AS per
satu orang perkapita sementara negara tetangga kita Malaysia di atas 5.000
dolar AS. Singapura apalagi, sudah 11.000."
Demikian
juga dalam investment. Dalam posisi masyarakat Indonesia di tengah-tengah
masyarakat dunia yang global, seperti AFTA yang sudah dipersiapkan untuk itu,
persaingan yang semakin bebas, kita akan semakin tersudut karena kekuatan
fondasi ekonomi kita juga tidak lebih kuat. "Cobalah lihat apa investasi
baru yang masuk ke negeri ini dalam kurun waktu empat lima tahun ini, tidak
ada, nol," ungkapnya.
Menurutnya,
kalau pun ada pertumbuhan ekonomi sedikit naik, itu karena kita sendiri yang
konsumeris. "Pertumbuhan yang sedikit naik itu bukan karena efektivitas,
daya saing, atau persaingan ekspor kita dan sebagainya," katanya.
Jadi,
memang harus mau kita akui bahwa policy dan kebijakan yang ada yang selama ini
dijalankan oleh pemerintah, tampaknya tidak cukup untuk menggerakkan peran
partisipasi publik untuk bersama-sama menyadari bahwa kita ini adalah bangsa
besar yang bisa membuat lompatan-lompatan besar untuk mengejar ketertinggalan
kita.
Surya
Paloh memberi analogi kemunduran bangsa yang mudah dicerna. Hampir 40 tahun
lalu Jembatan Semanggi sudah diperkenalkan kepada bangsa Indonesia di Jakarta. Proklamator,
Presiden Republik Indonesia Pertama (1945-1966)
Bung Karno penggagas, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977) Ali Sadikin
sebagai pelaksana. Sekarang bangsa lain sudah meng-introduce dan menikmati apa
yang namanya subway transportasi, underground, dan flyover. Tetapi, Jakarta
sebagai satu ibukota negara yang harus konsern terhadap polusi, masih bertempur
soal busway. Jakarta sudah sangat tertinggal jauh. Tidak ada yang peduli atas
kemacetan demi kemacetan yang ada. Ini artinya antara harapan dengan kenyataan
masih belum bergandengan belum bersahabat secara dekat. Harapan di ujung sana
kenyataan di ujung sini.
Justeru
itu, ia melihat betapa pentingnya perubahan-perubahan besar harus segera bisa
dilakukan. "Dan percayalah pada saya, dengan semangat primordial dan
paternalistik masyarakat kita, pemimpin memberikan kontribusi yang amat sangat
berarti," katanya.
Merosotnya Moral
Surya
sangat sepakat bahwa berbagai masalah krusial yang dihadapi terkait pula dengan
moralitas bangsa yang sudah sangat merosot. Bangsa ini terjebak pada semangat
pragmatisme yang tinggi sekali. Terjadi sebuah perubahan tata nilai sosial yang
begitu luar biasa secara ekstrim dari waktu ke waktu dan mengarah ke hal yang
negatif.
Perubahan
itu adalah pola pikir masyarakat yang dengan semangat kegotong-royongan, secara
mendasar telah bergerak ke arah semangat pragmatisme dan individualistik yang
tinggi sekali. Masyarakat individualistik hanya dekat dengan nilai-nilai yang
materialistik. Bagi Surya, jika perubahan tersebut tidak segera dihentikan
dengan kesadaran penuh maka satu tingkat lagi bangsa ini atheis.
"Kita
tetap lihat ada kelenteng, kita lihat tetap ada wihara Budha, kita lihat tetap
ada mesjid, kita lihat masih tetap ada gereja, tapi roh keimanan tidak ada di
situ," ujarnya dengan suara dan mimik sangat serius bahkan terkesan marah
terhadap kenyataan yang kasat mata itu.
"Hanya
merupakan pelengkap. Roh dan jiwa kita sebenarnya kosong terhadap hal-hal itu.
Kita tidak percaya akan succes story yang akan terjadi esok yaitu masa depan
yang lebih baik. Kita hanya mau bicara to day is the day, tomorrow for another
day. Hari ini cash and carry, instant. Dan dengan itu kita tidak mungkin
melakukan perubahan-perubahan besar kalau cara berpikir dan moralitas bangsa
seperti ini."
Selain
amat sangat sepakat dengan moralitas bangsa yang merosot dan semakin
termarjinalkannya masyarakat kecil, Surya menyebutkan terhadap hal itu lebih
dari 50 persen kontribusinya disumbangkan oleh faktor kepemimpinan yang salah.
Sebab rakyat hanyalah follower. "Ketika pemimpin tidak kuat maka rakyat
akan segera berubah menjadi individu liar. Semua merasa punya hak namun tidak
ada siapapun yang merasa mempunyai kewajiban," ujarnya.
"Bangsa
apa kita? Apa yang mau Anda harapkan dari suatu bangsa yang semua individu
merasa punya hak atas bangsa ini, tapi tidak pernah merasa ada beban kewajiban
pada diri kita? Maka akan hancurlah bangsa ini."
Menurutnya,
bukan lagi sekadar ketakutan atas ancaman separatis dari satu-dua-tiga
kepulauan daerah, sebab ada hal yang lebih memusnahkan dari itu, yaitu semangat
individualistik yang berlebihan. "Saya ingin menjadikan patron unity dan
kesatuan dalam traffic."
Dia
jelaskan, kebesaran seseorang yang penuh dengan kemampuan akademik, dia tidak
berarti untuk orang-orang yang awam. Orang-orang yang kaya, dia tidak berarti
untuk orang-orang yang miskin. Cerdik, pintar, piawai hanya bisa untuk dirinya
sendiri.
Terbuangnya Waktu
Masa
lima tahun reformasi setelah terkungkung 32 tahun kehilangan kesempatan
memajukan alternatif pemimpin, masih belum menunjukkan hasil yang bisa dipetik.
Keberhasilan hampir tidak ada kecuali mendengar statement elit politik yang
saling caci-maki di antara satu sama lain.
Persoalannya,
kata Surya, terletak pada pemimpin era reformasi itu sendiri yang tidak komit
kepada gerakan yang mereka pimpin. Mereka tetap mau mengklaim diri sebagai
pemimpin yang reformis tetapi tidak ada hasil-hasil reformasi yang bisa mereka
berikan kepada bangsa ini.
Kalaupun
ada perubahan yang berarti seperti perubahan amandemen konstitusi yang
memungkinkan pemilihan presiden secara langsung, Surya mencatat itu namun dia
sekaligus mengedepankan pula harga yang harus dibayar untuk itu.
Seperti
teror dan destabilitas di mana-mana, terkucilkan dari pandangan dunia luar dan
segala macam. Bagi dia itu juga tidak kalah penting. "Dan catat itu,
korupsi semakin merajalela. Bukannya korupsi berhenti, malah merajalela di
zaman ini. Kita katanya anti KKN, tapi nyatanya semakin merajalela, semakin nepotis."
Namun
Surya mengaku memberi catatan khusus terhadap pencapaian kemerdekaan berbicara,
berserikat, dan pers yang bebas sebagai poin-poin yang bisa dijadikan modal
untuk berubah.
Surya
melihat yang diharapkan atau dibutuhkan masyarakat sebagai buah era reformasi
sebetulnya sederhana. Yaitu penegakan hukum atau law enforcement, perbaikan
ekonomi, peningkatan taraf hidup rakyat, ketenangan masyarakat bekerja,
mendapat pendidikan yang baik bagi anak-anaknya, fasilitas kesehatan bagus,
jalan raya tidak terlalu sesak nafas dan lain-lain. Itu semua sudah bisa
membuat mereka senang. Masyarakat tidaklah peduli bangsa ini ada ikatan atau
urusan sama IMF, misalnya.
Karena
itu, jika timbul pernyataan bahwa masyarakat rindu pada masa lalu, seharusnya
pernyataan tersebut menjadi pukulan untuk orang-orang yang berpikiran maju ke
depan.
No comments:
Post a Comment