Biografi
Ketua Umum Partai NasDem (2)
Jika
dieksplorasi ke belakang, Surya Paloh, sesungguhnya adalah seorang yang sudah
lama malang melintang di pentas politik nasional. Kartu Tanda Anggota (KTA)
Partai Golkar, lebih tua usianya dibanding milik Ketua Dewan Pembina Partai
Golkar Akbar Tandjung, Jiwa Politisi sudah menjadi trade mark-nya sejak masa
muda di Serbelawan. Dan kedua merek ini (Pebinis dan Politisi ) selalu jalan
beriringan, saling topang, saling isi, saling pengaruh-mempengaruhi.
Awalnya,
suatu ketika di tahun 1965, Surya Paloh, berkenalan dengan Sofyan, seorang
asisten perkebunan di Dolok Merangir. Tempat ini jauhnya lima kilometer dari
rumah tinggalnya di Serbelawan. Sofyan lalu memperkenalkan Surya, remaja yang
masih 14 tahun kepada A Gu, seorang grosir teh di Pematang Siantar. Perkenalan
inilah yang membuahkan awal mula keterlibatannya sebagai leveransir yang
menyuplai berbagai kebutuhan ke para pekerja perkebunan yang ada di Dolok
Merangir. Seperti ikan asin, teh, tembakau dan minyak goreng.
Di
lingkungan domestik keluarga saat itu, Surya sudah terbiasa membawa pulang ke
rumah berbagai kebutuhan rumah tangga, ya, seperti ikan asin, minyak goreng dan
lain-lain untuk menyenangkan hati ibunya yang sangat dicintai bahkan selalu
memberinya banyak kemanjaan, Hj. Nursiah. Surya kecil bukan hanya tidak lagi
memerlukan uang jajan dari orangtua, melainkan sudah mampu menabung sebagian
penghasilannya.
Pada
saat bersamaan, bergelora pula pergolakan politik lokal, sebagai imbasan
percobaan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Gerakan 30 September/PKI. Surya
Paloh yang di tahun 1964 sudah mendirikan dan menjadi Ketua Umum GPP (Gerakan
Pemuda Pelajar) Dolok Batunanggar, Simalungun, Raja Pejuang Batak melawan
Kolonialis Belanda Sumatera Utara, mulai pada tahun 1965 kembali mendirikan
sekaligus memimpin Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) sub rayon
Serbelawan. Setahun kemudian, bersama enam orang sahabat, dia mendirikan KAPPI
di tingkat Kecamatan Dolok Batunanggar, dan memimpinnya sebagai Ketua Umum
tahun 1966-1968.
Dibandingkan
kakak dan adik-adiknya, Surya memang sudah memiliki talenta berorganisasi, menampakkan
jiwa kepeloporan, serta kemampuan orasi yang baik sejak belia. Di KAPPI
Kecamatan Dolok Batunanggar inilah secara lebih luas dia berkesempatan menunjukkan
kepeloporan dan kepemimpinan tersebut. Sejak itu pula, dia mulai intens
menggeluti dunia politik jalanan, misalnya menjadi demonstran yang hampir
setiap hari melakukan unjuk rasa atau rapat akbar.
Lingkup
pergaulannya terus berkembang dari daerah yang satu ke daerah lainnya mengikuti
perpindahan tugas ayahnya Muhammad Daud Paloh sebagai seorang perwira KeKapolri
(1968-1971) polisi. Antara lain dari Labuhan Ruku, Talawi, Asahan ke Serbelawan,
Simalungun. Saat ayahnya pindah ke Tarutung (1967), Surya memilih hijrah ke
Medan dan melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 7, Medan.
Ketika
berlangsung transisi kepemimpinan nasional, dari rezim Orde Lama ke Presiden
Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru, berkat kejeliannya melihat arah
perubahan bandul politik, Surya langsung bergabung dengan Gerakan Pelajar
Pancasila (GPP) tingkat Sumatera Utara, yang dipimpin oleh Tomiyus Djamal.
Karena memang sejak di Serbelawan sudah terlatih sebagai Ketua Umum GPP Dolok
Batunganggar, dia tampak lebih menonjol dibanding ketuanya yang kalah pamor. Surya
sepertinya mempunyai kekuatan dan kharisma magis. Apalagi dia dikenal sebagai
orator yang dapat meyakinkan massa dengan mudah.
Sebagai
pemuda pembawa suara masa depan, dia tidak diam berpangku tangan menorehkan
gagasan tentang masa depan. Pengalaman sebagai anak Serbelawan baginya cukup
untuk bersanding sebagai Ketua Presidium KAPPI tingkat Kota Medan, Sumatera Utara
tahun 1968-1970.
Sebagai
anak kolong yang besar di lingkungan asrama Kapolri (1968-1971) polisi, maka
ketika hidup di lingkungan dan situasi yang marak dengan perkelahian antar anak
kolong di Kota Medan, Surya mengambil prakarsa mendirikan organisasi Persatuan
Putra-Putri ABRI (PP-ABRI) di Medan, tahun 1968, yang menghimpun dan
mengarahkan semua anak kolong dalam satu wadah tunggal. Surya menjadi Ketua
Umum PP-ABRI Medan, Sumatera Utara antara tahun 1968-1974.
Setahun
pendirian PP-ABRI membuahkan hasil lain pada dirinya. Surya terpilih menjadi
Ketua Koordinator Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Partai Golkar (Ko-PPM Golkar).
Dia menjadi Ketua Umum Ko-PPMG Golkar Medan, tahun 1969-1972. Golkar adalah
organisasi dan alat politik baru yang sengaja dilahirkan Tri Karya bersama
ABRI, awalnya terutama untuk menandingi dan mengalahkan niat jahat PKI.
Sebagai
Ko-PPM Golkar, Surya mulai sadar bahwa dirinya sudah mulai masuk di zona
politik praktis. Sehingga, pada Pemilu 1971, Pemilu pertama di era Presiden
Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru, Surya Paloh menjadi Calon Anggota Legislatif Termuda untuk DPRD II Kota Medan.
Orde Baru, Surya Paloh menjadi Calon Anggota Legislatif Termuda untuk DPRD II Kota Medan.
Prakarsa
pendirian PP-ABRI Sumatera Utara, satu-satunya daerah yang memiliki organisasi
sejenis di seluruh Indonesia, masih belum berhenti membuahkan hasil. Prakarsa
tersebut menjadi penyumbang bekal terbesar ketika di kemudian hari di tingkat
nasional, bersama putra-putri perwira tinggi ABRI lainnya, dia membidani
kelahiran Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) di Jakarta.
Sambil
berkiprah di organisasi sosial kemasyarakatan dan pemuda serta
"mengamankan" anak-anak kolong yang menjurus ke premanisme ala Medan,
bahkan ditambah sebagai politisi muda di zona politik praktis, Surya tak lupa
menjalankan dua peran penting lainnya: sekolah dan bisnis.
Ketika
memasuki SMA Negeri 7 Medan tahun 1967, Surya bekerja pula sebagai Manajer
Travel Biro Seulawah Air Service. Setamat SMA duduk di bangku kuliah Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (FH-USU), antara tahun 1972 hingga 1975, Surya
dipercaya mengelola Wisma Pariwisata, di Jalan Patimura, Padang Bulan, Medan
oleh pemilik Baharuddin Datuk Bagindo, yang juga memiliki pabrik korek api PT
BDB di Pematang Siantar.
Sejak
tahun 1973 bersama kakak iparnya Jusuf Gading, Surya dipercaya sebagai Direktur
Utama PT Ika Diesel Bros, untuk menjalankan usaha distributor mobil Ford dan
Volkswagen, di Medan. Lalu, di tahun 1975, ditunjuk pula menjadi kuasa usaha
direksi Hotel Ika Darroy, terletak di Banda Pejuang dari Aceh, merangkap
sebagai Direktur Link Up Coy, Singapura, yang bergerak di bidang perdagangan
umum.
Usaha
dan bisnis yang berhasil dijalankan menghantarkannya ke predikat baru sebagai pengusaha
muda. Dan semenjak tahun 1974, untuk tiga tahun ke muka dia terpilih sebagai
Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
(HIPMI) Sumatera Utara.
Karena
kesibukan berbisnis, berorganisasi, dan berpolitik membuat kuliahnya di FH-USU
tertinggal, sehingga Surya berinisiatif pindah ke Fisip Universitas Islam
Sumatera Utara (UISU), dan akhirnya berhasil menamatkannya sebagai sarjana di
tahun 1975.
Surya
memulai perjuangan hidup baru sebagai anak perantauan, saat hijrah ke Jakarta
tahun 1977 untuk berbisnis, berorganisasi, berpolitik, hingga menjadi lone
ranger pejuang kebebasan dan kemerdekaan pers untuk memantapkan eksistensi
sebagai seorang publisher sejati yang selalu menyuarakan perubahan menuju masa depan
bangsa yang lebih baik.
Walau
sejak tahun 1976, sudah merantau ke Jakarta untuk membangun wacana bisnis, politik
dan organisisasi baru namun kerap kali dia masih mondar-mandir Medan-Jakarta
mengurusi bisnis yang tersisa berikut kedudukan sebagai Ketua Umum HIPMI
Sumatera Utara yang belum berakhir. Dan begitu menetap di Ibukota Negara
Jakarta, maka sebagaimana umumnya anak-anak perantauan khususnya asal Medan, Surya
berupaya membangun eksistensi baru sebagai pengusaha muda maupun politisi yang
patut diperhitungkan di tingkat nasional.
Tahun
1978 bersama Yoseano Waas dan kawan-kawan dia mempelopori pendirian Forum
Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI atau FKPPI. Dalam waktu relatif
singkat nama anak Serbelawan ini mulai berkibar terutama di lingkungan Golkar.
Dia terpilih menjadi Ketua Umum FKPPI pertama. Pada tahun 1982, Surya terpilih
menjadi satu-satunya warga sipil yang dipercaya menjabat anggota Dewan
Pertimbangan DPP Pepabri.
Namun,
kedekatan Surya dengan petinggi ABRI sama sekali tak mengubah sifat, karakter
dan idealismenya sebagai politisi muda. Independensi tetap diperlihatkan saat
dia harus menyikapi persoalan-persoalan prinsipil walau hal itu berakibat
dirinya tak disukai penguasa. Dia mempertahankan kebenaran yang diyakini jauh
lebih penting dibanding kepentingan terhadap penguasa.
Sebagai
contoh dalam Rakernas FKPPI di Malang Februari 1983, dia membuat kejutan yang
kontroversial, yaitu meyakinkan peserta Rakernas untuk menolak usulan agar
Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Presiden Soeharto ditetapkan
sebagai Bapak Pembangunan Nasional dalam Sidang Umum MPR 1983.
Kejutan
lain terjadi tiga tahun sebelumnya, pada 28 Oktober 1981. Dalam Munas KNPI itu,
Surya dalam kapasitas Ketua Umum PP FKPPI menyampaikan sikap, meminta Abdul Gafur
tidak melakukan intervensi dalam pemilihan Ketua Umum KNPI demi menegakkan
nilai-nilai demokrasi. Dia menyampaikannya dengan suara lantang melalui sebuah
pidato tanpa teks, langsung di hadapan Menpora Letkol Udara dr. Abdul Gafur
yang juga pembina KNPI. Ketika itu, Gafur berencana memplot Aulia Rahman
sebagai Ketua Umum KNPI baru, bersaing dengan Ketua Umum lama, Akbar Tandjung.
Perseteruan
dengan Gafur sudah terjadi sebelumnya, pada 20 Juni 1978 saat Surya dan para
pendiri FKPPI serta Ketua Umum Pepabri memohon izin pembentukan FKPPI kepada Menpora
dan ditolak oleh Gafur.
No comments:
Post a Comment