Thursday 9 June 2016

SURYA PALOH : KIPRAH BISNIS DAN PENTAS POLITIK



Biografi Ketua Umum Partai NasDem (2)


 

Jika dieksplorasi ke belakang, Surya Paloh, sesungguhnya adalah seorang yang sudah lama malang melintang di pentas politik nasional. Kartu Tanda Anggota (KTA) Partai Golkar, lebih tua usianya dibanding milik Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Akbar Tandjung, Jiwa Politisi sudah menjadi trade mark-nya sejak masa muda di Serbelawan. Dan kedua merek ini (Pebinis dan Politisi ) selalu jalan beriringan, saling topang, saling isi, saling pengaruh-mempengaruhi.

Awalnya, suatu ketika di tahun 1965, Surya Paloh, berkenalan dengan Sofyan, seorang asisten perkebunan di Dolok Merangir. Tempat ini jauhnya lima kilometer dari rumah tinggalnya di Serbelawan. Sofyan lalu memperkenalkan Surya, remaja yang masih 14 tahun kepada A Gu, seorang grosir teh di Pematang Siantar. Perkenalan inilah yang membuahkan awal mula keterlibatannya sebagai leveransir yang menyuplai berbagai kebutuhan ke para pekerja perkebunan yang ada di Dolok Merangir. Seperti ikan asin, teh, tembakau dan minyak goreng.

Di lingkungan domestik keluarga saat itu, Surya sudah terbiasa membawa pulang ke rumah berbagai kebutuhan rumah tangga, ya, seperti ikan asin, minyak goreng dan lain-lain untuk menyenangkan hati ibunya yang sangat dicintai bahkan selalu memberinya banyak kemanjaan, Hj. Nursiah. Surya kecil bukan hanya tidak lagi memerlukan uang jajan dari orangtua, melainkan sudah mampu menabung sebagian penghasilannya.

Pada saat bersamaan, bergelora pula pergolakan politik lokal, sebagai imbasan percobaan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh Gerakan 30 September/PKI. Surya Paloh yang di tahun 1964 sudah mendirikan dan menjadi Ketua Umum GPP (Gerakan Pemuda Pelajar) Dolok Batunanggar, Simalungun, Raja Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda Sumatera Utara, mulai pada tahun 1965 kembali mendirikan sekaligus memimpin Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) sub rayon Serbelawan. Setahun kemudian, bersama enam orang sahabat, dia mendirikan KAPPI di tingkat Kecamatan Dolok Batunanggar, dan memimpinnya sebagai Ketua Umum tahun 1966-1968.

Dibandingkan kakak dan adik-adiknya, Surya memang sudah memiliki talenta berorganisasi, menampakkan jiwa kepeloporan, serta kemampuan orasi yang baik sejak belia. Di KAPPI Kecamatan Dolok Batunanggar inilah secara lebih luas dia berkesempatan menunjukkan kepeloporan dan kepemimpinan tersebut. Sejak itu pula, dia mulai intens menggeluti dunia politik jalanan, misalnya menjadi demonstran yang hampir setiap hari melakukan unjuk rasa atau rapat akbar.

Lingkup pergaulannya terus berkembang dari daerah yang satu ke daerah lainnya mengikuti perpindahan tugas ayahnya Muhammad Daud Paloh sebagai seorang perwira KeKapolri (1968-1971) polisi. Antara lain dari Labuhan Ruku, Talawi, Asahan ke Serbelawan, Simalungun. Saat ayahnya pindah ke Tarutung (1967), Surya memilih hijrah ke Medan dan melanjutkan pendidikan ke SMA Negeri 7, Medan.

Ketika berlangsung transisi kepemimpinan nasional, dari rezim Orde Lama ke Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Orde Baru, berkat kejeliannya melihat arah perubahan bandul politik, Surya langsung bergabung dengan Gerakan Pelajar Pancasila (GPP) tingkat Sumatera Utara, yang dipimpin oleh Tomiyus Djamal. Karena memang sejak di Serbelawan sudah terlatih sebagai Ketua Umum GPP Dolok Batunganggar, dia tampak lebih menonjol dibanding ketuanya yang kalah pamor. Surya sepertinya mempunyai kekuatan dan kharisma magis. Apalagi dia dikenal sebagai orator yang dapat meyakinkan massa dengan mudah.

Sebagai pemuda pembawa suara masa depan, dia tidak diam berpangku tangan menorehkan gagasan tentang masa depan. Pengalaman sebagai anak Serbelawan baginya cukup untuk bersanding sebagai Ketua Presidium KAPPI tingkat Kota Medan, Sumatera Utara tahun 1968-1970.

Sebagai anak kolong yang besar di lingkungan asrama Kapolri (1968-1971) polisi, maka ketika hidup di lingkungan dan situasi yang marak dengan perkelahian antar anak kolong di Kota Medan, Surya mengambil prakarsa mendirikan organisasi Persatuan Putra-Putri ABRI (PP-ABRI) di Medan, tahun 1968, yang menghimpun dan mengarahkan semua anak kolong dalam satu wadah tunggal. Surya menjadi Ketua Umum PP-ABRI Medan, Sumatera Utara antara tahun 1968-1974.

Setahun pendirian PP-ABRI membuahkan hasil lain pada dirinya. Surya terpilih menjadi Ketua Koordinator Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Partai Golkar (Ko-PPM Golkar). Dia menjadi Ketua Umum Ko-PPMG Golkar Medan, tahun 1969-1972. Golkar adalah organisasi dan alat politik baru yang sengaja dilahirkan Tri Karya bersama ABRI, awalnya terutama untuk menandingi dan mengalahkan niat jahat PKI.

Sebagai Ko-PPM Golkar, Surya mulai sadar bahwa dirinya sudah mulai masuk di zona politik praktis. Sehingga, pada Pemilu 1971, Pemilu pertama di era Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988)
Orde Baru, Surya Paloh menjadi Calon Anggota Legislatif Termuda untuk DPRD II Kota Medan.

Prakarsa pendirian PP-ABRI Sumatera Utara, satu-satunya daerah yang memiliki organisasi sejenis di seluruh Indonesia, masih belum berhenti membuahkan hasil. Prakarsa tersebut menjadi penyumbang bekal terbesar ketika di kemudian hari di tingkat nasional, bersama putra-putri perwira tinggi ABRI lainnya, dia membidani kelahiran Forum Komunikasi Putra-putri Purnawirawan ABRI (FKPPI) di Jakarta.

Sambil berkiprah di organisasi sosial kemasyarakatan dan pemuda serta "mengamankan" anak-anak kolong yang menjurus ke premanisme ala Medan, bahkan ditambah sebagai politisi muda di zona politik praktis, Surya tak lupa menjalankan dua peran penting lainnya: sekolah dan bisnis.

Ketika memasuki SMA Negeri 7 Medan tahun 1967, Surya bekerja pula sebagai Manajer Travel Biro Seulawah Air Service. Setamat SMA duduk di bangku kuliah Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH-USU), antara tahun 1972 hingga 1975, Surya dipercaya mengelola Wisma Pariwisata, di Jalan Patimura, Padang Bulan, Medan oleh pemilik Baharuddin Datuk Bagindo, yang juga memiliki pabrik korek api PT BDB di Pematang Siantar.

Sejak tahun 1973 bersama kakak iparnya Jusuf Gading, Surya dipercaya sebagai Direktur Utama PT Ika Diesel Bros, untuk menjalankan usaha distributor mobil Ford dan Volkswagen, di Medan. Lalu, di tahun 1975, ditunjuk pula menjadi kuasa usaha direksi Hotel Ika Darroy, terletak di Banda Pejuang dari Aceh, merangkap sebagai Direktur Link Up Coy, Singapura, yang bergerak di bidang perdagangan umum.

Usaha dan bisnis yang berhasil dijalankan menghantarkannya ke predikat baru sebagai pengusaha muda. Dan semenjak tahun 1974, untuk tiga tahun ke muka dia terpilih sebagai Ketua Umum Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sumatera Utara.

Karena kesibukan berbisnis, berorganisasi, dan berpolitik membuat kuliahnya di FH-USU tertinggal, sehingga Surya berinisiatif pindah ke Fisip Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), dan akhirnya berhasil menamatkannya sebagai sarjana di tahun 1975.

Surya memulai perjuangan hidup baru sebagai anak perantauan, saat hijrah ke Jakarta tahun 1977 untuk berbisnis, berorganisasi, berpolitik, hingga menjadi lone ranger pejuang kebebasan dan kemerdekaan pers untuk memantapkan eksistensi sebagai seorang publisher sejati yang selalu menyuarakan perubahan menuju masa depan bangsa yang lebih baik.

Walau sejak tahun 1976, sudah merantau ke Jakarta untuk membangun wacana bisnis, politik dan organisisasi baru namun kerap kali dia masih mondar-mandir Medan-Jakarta mengurusi bisnis yang tersisa berikut kedudukan sebagai Ketua Umum HIPMI Sumatera Utara yang belum berakhir. Dan begitu menetap di Ibukota Negara Jakarta, maka sebagaimana umumnya anak-anak perantauan khususnya asal Medan, Surya berupaya membangun eksistensi baru sebagai pengusaha muda maupun politisi yang patut diperhitungkan di tingkat nasional.

Tahun 1978 bersama Yoseano Waas dan kawan-kawan dia mempelopori pendirian Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI atau FKPPI. Dalam waktu relatif singkat nama anak Serbelawan ini mulai berkibar terutama di lingkungan Golkar. Dia terpilih menjadi Ketua Umum FKPPI pertama. Pada tahun 1982, Surya terpilih menjadi satu-satunya warga sipil yang dipercaya menjabat anggota Dewan Pertimbangan DPP Pepabri.

Namun, kedekatan Surya dengan petinggi ABRI sama sekali tak mengubah sifat, karakter dan idealismenya sebagai politisi muda. Independensi tetap diperlihatkan saat dia harus menyikapi persoalan-persoalan prinsipil walau hal itu berakibat dirinya tak disukai penguasa. Dia mempertahankan kebenaran yang diyakini jauh lebih penting dibanding kepentingan terhadap penguasa.

Sebagai contoh dalam Rakernas FKPPI di Malang Februari 1983, dia membuat kejutan yang kontroversial, yaitu meyakinkan peserta Rakernas untuk menolak usulan agar Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Presiden Soeharto ditetapkan sebagai Bapak Pembangunan Nasional dalam Sidang Umum MPR 1983.

Kejutan lain terjadi tiga tahun sebelumnya, pada 28 Oktober 1981. Dalam Munas KNPI itu, Surya dalam kapasitas Ketua Umum PP FKPPI menyampaikan sikap, meminta Abdul Gafur tidak melakukan intervensi dalam pemilihan Ketua Umum KNPI demi menegakkan nilai-nilai demokrasi. Dia menyampaikannya dengan suara lantang melalui sebuah pidato tanpa teks, langsung di hadapan Menpora Letkol Udara dr. Abdul Gafur yang juga pembina KNPI. Ketika itu, Gafur berencana memplot Aulia Rahman sebagai Ketua Umum KNPI baru, bersaing dengan Ketua Umum lama, Akbar Tandjung.

Perseteruan dengan Gafur sudah terjadi sebelumnya, pada 20 Juni 1978 saat Surya dan para pendiri FKPPI serta Ketua Umum Pepabri memohon izin pembentukan FKPPI kepada Menpora dan ditolak oleh Gafur.

No comments:

Post a Comment