Biografi
Ketua Umum Partai NasDem (1)
Surya Paloh Ketua Umum Partai NasDem |
Chairman
Media Grup, yang antara lain menaungi koran Media Indonesia dan MetroTV, ini juga
aktif dalam dunia politik. Mantan Ketua Dewan Penasehat dan Ketua Dewan Pembina
Partai Golkar tahun 2004-2009, itu mendirikan dan memimpin Organisasi Masyarakat,
bernama Nasional Demokrat. Ormas itu dideklarasi, pada Senin, 1 Februari 2010
di Gedung Istora Senayan, Jakarta. Dia berkehendak kuat mewujudkan Restorasi
Nasional.
Tekad
Restorasi Nasional itu telah pernah dikumandangkannya tatkala dia mengikuti
proses Calon Presiden melalui Konvensi Partai Golkar, saat itu sedang menjabat
sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Golkar, tahun 2004.
Putera
bangsa kelahiran Kutaraja, Banda Aceh, tanggal 16 Juli 1951, ini berkehendak
membawa Perubahan Baru di Republik ini. Restorasi Nasional ingin diwujudkannya.
Menurutnya,
salah satu kata kunci agar berhasil merestorasi masa depan bangsa secara
menyeluruh ke arah yang lebih baik adalah harus memiliki otoritas penuh dan
didukung rakyat. Otoritas tertinggi itu ada di tangan seorang Presiden sebagai
Pemimpin Nasional. Sebab menurutnya, maju atau mundurnya sebuah bangsa lebih 50
persen disumbangkan oleh faktor kepemimpinan seorang Pimpinan Nasional
(Presiden).
Sejak
masa belia, terbilang usia belasan tahun, impian kehidupan berpolitik yang
demokratis dan obsesi untuk menyejahterakan rakyat, sudah sering disuarakannya.
Dia ingin melakukan perubahan menuju kehidupan adil, makmur dan sejahtera
bangsanya. Era reformasi memberinya jalan lapang untuk memperjuangkan sekaligus
membuktikan kehendak dan ide-ide briliannya itu. Gagasan dan ide yang
seringkali diungkapkan dalam editorial Media Indonesia, yang dipimpinnya namun
selalu menghadapi tembok tak tertembus. Kini, dia ingin mewujudkannya. Dia
ingin bangsa ini berubah: Adil, Makmur dan Sejahtera!
"Kita
butuh perubahan besar bagi bangsa ini," katanya mantap kepada
TokohIndonesiaDotCom, memberi alasan pencalonannya sebagai presiden. "Saya
berkeyakinan pada diri saya, dengan karunia Tuhan, dan apa yang telah diberikan
oleh Yang Maha Kuasa, kesempatan lahir, besar dan berinteraksi di tengah-tengah
bangsa ini, untuk menjadi salah satu figur alternatif Pemimpin Masa Depan
Bangsa," katanya dalam bagian awal pembicaraan.
Kemandirian
dan kepemimpinan sesungguhnya terasah pada dirinya sejak remaja. Saat masih
dalam usia belia sekali, 14 tahun, dia sudah memulai bisnis leveransir, di
sebuah kota kecil Serbelawan, tahun 1965. Bersamaan dengan aktivitas bisnis
itu, dia pun sudah mampu tampil sebagai pemimpin dan penggerak massa, dalam
kapasitas sebagai Ketua Umum Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) sub
rayon Serbelawan, Kecamatan Dolok Batunanggar, Kabupaten Simalungun, Raja
Pejuang Batak melawan Kolonialis Belanda
Sumatera Utara.
Sumatera Utara.
KAPPI
di daerah itu dia dirikan bersama teman-temannya untuk melawan pengaruh Partai
Komunis Indonesia dan antek-anteknya, yang memberontak kepada negara melalui
Gerakan 30 September/PKI. Peta pergolakan politik dan kekuasaan antara Jakarta
dan Serbelawan, sama dalam pengamatan Chairman Media Grup dan Pendiri Nasional
Demokrat, Surya Paloh yang rajin mengikuti pemberitaan lewat suratkabar dan
radio, terutama gaung pidato Proklamator, Presiden Republik Indonesia Pertama
(1945-1966) Bung Karno yang sangat dia idolakan.
Bermodalkan
semangat kebangsaan, cinta tanah air, dan kekaguman akan Proklamator Presiden
Republik Indonesia Pertama (1945-1966) Bung Karno, yang sejak lama sudah
ditanamkan ayahnya Daud Paloh, seorang perwira Polri (1968-1971), ditambah
kemampuan orator ulung dan luasnya persahabatan serta kemampuan finansial
sebagai leveransir ikan asin ke perkebunan, membuat anak muda itu makin leluasa
menggerakkan organisasi KAPPI di Serbelawan, Simalungun. Jadi, ikhtiar sebagai politisi
sekaligus pengusaha sukses sudah dijalankannya sejak awal.
Memasuki
saat-saat menjelang pensiun untuk hanya menikmati hari tua bersama istri dan
anak, obsesi yang pernah bergema pada usia 14 tahun itu, kembali membatin dalam
perasaannya. Obsesi itu semakin hari semakin keras. Apakah dia harus berhenti
untuk melakukan sesuatu yang lebih optimal? Atau apakah dia harus menyerah
untuk menyatakan selamat tinggal kepada perjuangan, yang bukan terbatas kepada
diri dan keluarganya?
Akhirnya,
pada suatu hari dia mengambil kesimpulan: "Saya tidak boleh menyerah. Saya
tidak boleh mengatakan bahwa saya telah melakukan semua apa yang seharusnya
saya lakukan. Masih ada satu misi besar lagi di depan. Kalau memang kesempatan
ada, atau kalau memang kesempatan itu juga kita buat supaya ada, kita harus
bisa melakukan sesuatu yang lebih besar memimpin bangsa ini, atas kepercayaan
rakyat bangsa ini," ujarnya.
Semangat
berapi-apinya kembali mencuat, sama seperti ketika masih muda dulu memimpin
ratusan massa pemuda pelajar menurunkan papan nama KBKB, sebuah ormas underbouw
PKI di Serbelawan.
Semangat
itu semakin mengkristal untuk bisa membawa perubahan besar bagi negeri ini. Sebab,
kendati sudah belasan tahun sebagai publisher menyuarakan semangat perubahan dalam
setiap editorial dan pemberitaan di setiap media yang didirikan dan
dipimpinnya, perubahan yang diimpikannya tak kunjung datang. Kini, Tokoh Pers
ini ingin menjemputnya, jika dia dipercaya memimpin bangsa ini.
Kini
Surya Paloh, sudah hampir memasuki akhir dekade kedua sebagai publisher. Predikat
publisher mulai dia torehkan saat pertama kali menerbitkan ‘Harian Prioritas’, pada
2 Mei 1986, bermarkas di Jalan Gondangdia, Jakarta Pusat. Koran ini menjadi
legenda bagi banyak orang, apalagi bagi pribadi seorang Surya. Bukan hanya
karena koran ini harus mati pada usia 13 bulan, melainkan lebih karena kematian
itu hanya tiba akibat arogansi kekuasaan yang mendompleng pada Permenpen Nomor:
1/Per/Menpen/1984, khususnya Pasal 33 butir "h". Prioritas harus
dibredel tepatnya pada tanggal 29 Juni 1987.
Pengambil
keputusan ketika itu lupa, bahwa di usia yang sudah 36 tahun, sesungguhnya Surya
Paloh, sudah semakin matang sebagai politisi dan pengusaha. Makanya Surya pasti
tidak akan menyerah, malah akan memberikan perjuangan balik berlipat kali
ganda. Padahal ketika itu, Surya sudah berada dalam lingkaran pusat kekuasaan
lewat pertemanannya dengan putra-putri dan menantu Presiden Republik Indonesia
Kedua (1966-1988), Pak Harto, pemimpin besar ketika itu.
Karena
itu, momentum pembredelan justru menjadi titik tonggak perjuangan Surya Paloh untuk
mewujudkan hakiki sebuah pers yang bebas merdeka. Sebab, menurutnya, mustahil
kehidupan berbangsa bisa demokratis jika tidak ada kebebasan pers. Perjuangan
strategis kebebasan pers dimaksudkannya, pula sebagai perjuangan untuk
menegakkan demokrasi di sebuah bangsa besar bernama Indonesia.
Ketika
itu, sayang dia harus melangkah sendirian. Lebih parah lagi, baginya, pintu
untuk memperoleh surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) pun mustahil.
Selembar surat untuk menerbitkan media baru sebagai alat untuk memperjuangkan
kebebasan pers dan menegakkan demokrasi, sudah tertutup rapat baginya.
Kebesaran
Surya sebagai anak rantau ibarat hanya menjadi seorang lone ranger yang
berjalan sendirian dalam kegelapan rimba arogansi penguasa yang mengekang
kebebasan pers. Praktis hanya sedikit insan pers nasional yang mensupportnya. Menunjukkan
rasa simpati saja, apalagi empati terhadap perjuangannya, sangat terbatas. Apakah
Surya Paloh dianggap bukan orang pers?
Ketika
dia berteriak lantang memperjuangkan kemerdekaan pers dengan mengajukan judicial
review ke Mahkamah Agung R.I atas keputusan pemerintah mencabut SIUPP Prioritas,
dia tetap seorang diri. "Saya dianggap bukan orang pers," katanya
pada suatu ketika.
Karena
itu, "Arogansi kekuasaan ini harus dilawan," gumamnya lagi.
"Demokrasi harus ditegakkan," tegasnya. "Pers nasional harus
bebas dari belenggu kematian," tekadnya membara. Permenpen Nomor
01/Per/Menpen/1984 khususnya Pasal 33 butir "h" harus dicabut. Sebab
Surya sangat yakin, seyakin-yakinnya, bahwa mustahil dapat menumbuhkan demokrasi
tanpa kebebasan pers.
Maklum,
ketika itu pers sangat tidak bebas sebab hampir tidak terlihat satupun
perlawanan yang bisa diberikan masyarakat pers terhadap pemerintah. Pers
nasional adalah pers yang manggut-manggut kepada kepentingan penguasa. Surya
menyebutkan, kebijakan institusi pers, dari SPS, Dewan Pers, hingga PWI
semuanya berada dalam satu irama dengan penguasa tanpa pernah memperjuangkan
fungsi pers yang sesungguhnya sebagai kekuasaaan negara keempat di bidang
demokrasi, atau the fourth estate of democracy. "Saya ternyata berada
dalam komunitas pers yang sebagian besar telah menjadi instrumen kekuasaan dan
patuh pada penguasa," gugatnya kemudian.
Ketika
di kemudian hari Surya Paloh berhasil menyiasati gelapnya arogansi kekuasaan
dengan mengambil-alih koran Media Indonesia secara sembunyi-sembunyi di
"bawah tangan", dia masih tetap dianggap sebagai orang pers
pinggiran. Padahal di tangannya Media Indonesia sudah tampil sebagai koran pagi
terbesar kedua.
Kendati
hingga titik itu dia masih saja dianggap bukan "orang pers," sejak
tahun 1989 muncul gagasan segarnya membangun sebuah community newspaper. Sebuah
komunitas koran di daerah-daerah coba dilahirkannya supaya melek terhadap
demokrasi dan hidup dalam kebebasan pers untuk membawa negara ini tiba pada
sebuah perubahan yang lebih baik.
Surya
lalu membentuk perusahaan PT Surya Persindo, bertugas melakukan kerjasama
kepemilikan saham dan pengelolaan media terhadap sepuluh surat kabar daerah dan
sebuah mingguan, ditambah sebuah tabloid berita Detik di Jakarta.
Ke-10
media tersebut adalah Harian Atjeh Post dan Mingguan Peristiwa di Banda Pejuang
dari Aceh, Harian Mimbar Umum di Medan, Harian Sumatra Ekspres di Palembang,
Harian Lampung Pos di Bandar Lampung, Harian Gala di Bandung, Harian Yogya Pos
di Yogyakarta, Harian Nusa Tenggara dan Bali News di Denpasar, Harian Dinamika
Berita di Banjar Banjarmasin, serta Harian Cahaya Siang di Manado.
Kebebasan
pers yang Surya perjuangkan lewat semua instrumen yang dimiliki tetap dianggap
hanya angin lalu. Semua suara itu baru memperoleh pembenaran di era reformasi. Pers
akhirnya memperoleh kebebasannya yang hilang. Permenpen Nomor 1/Per/Menpen/1984
dicabut oleh Menpen Yunus Yosfiah di tahun 1998.
Lewat
kebebasan baru itu, idealisme Surya Paloh menjadi memuncak untuk memberi
penguatan baru kepada demokrasi melalui peran media yang dimiliki. Keinginannya
untuk benar-benar memperoleh pengakuan sebagai publisher sejati tak lagi
terbendung tatkala pada 18 November 2000, dia berhasil mengundang Presiden
Republik Indonesia Keempat (1999-2001) Abdurrahman Wahid, untuk meresmikan
pendirian Metro TV sebagai sebuah stasiun televisi berita pertama di Indonesia.
Lambang kepala Burung Rajawali Putih mulai muncul pada dua entitas media yang
berpengaruh miliknya: koran Media Indonesia dan stasiun televisi Metro TV.
Seminggu
kemudian tepatnya, pada 25 November 2000, Metro TV mulai on air pertama kali, menyajikan
siaran berita selama 18 jam setiap hari dengan dukungan teknologi yang fully
digital. Ini adalah sebuah pencapaian yang luar biasa. Baik dari sisi pilihan
teknologi maupun konten siaran yang sepenuhnya berita. Kemudian, persis tanggal
1 April 2001, Metro TV siaran non stop selama 24 jam setiap hari. Kehadiran
Metro TV, menjadi sebuah terobosan terbesar dalam dunia pertelevisian nasional.
No comments:
Post a Comment